Wednesday 19 December 2018

25 Desember Tahun Itu

Salah satu hari yang sampai saat ini paling aku sesali, hari ketika aku tidak turut hadir untuk menentang dosenku
Dosenku telah merenggut hak beragama rekan-rekanku
Secara sembunyi-sembunyi mencoreng nilai pancasila pasal satu sampai lima
Mengaku berkuasa bak titisan dewa dari surga

Dengan paksa ia putuskan 25 Desember tahun itu menjadi ajang ancaman IPK
Mahasiswa harus hadir! Atau mengulang tahun depan
Arogan sekali putusan busuk itu, lagak tangan kanan tuhan
Seperti selalu benar berdasarkan keadilan

Embel-embel musyawarah mencapi mufakat sebelum hari H, hanya menjadi ruang ancaman bagi rekan kristianiku
Permainan kotor pemangku takhta perguruan tinggi, penguji ruang sidang skripsi

Hina juga aku, harusnya kala itu ku dobrak pintu pertemuan diam-diam Sang Mahaguru dengan rekanku
Agar tidak pernah mencapai kata sepakat yang jelas-jelas berat sebelah

Saat itu aku sama seperti teman muslimku yang lain
Murka tak karuan, sebatas makian di belakang yang bahkan tak pernah sampai di telinga Sang Mahaguru
Perilaku kerdil mahasiswa yang dangkal  ilmu sekaligus penakut!
Itulah aku saat itu.

25 Desember tahun itu,
Rekan kristianiku bungkam.
Hadir bersama kami, memburu nilai formalitas
Sedang yang lain seperti buta, tuli, bisu atau hilang ingatan
Seperti tidak ada yang terjadi, seperti bukan dosa pribadi
Aku dengan jelas melihat kobaran emosi pada mata rekan-rekanku
Entah marah, duka atau kecewa. Tidak sanggup ditafsirkan
Tapi hari itu kepada kami mereka berbicara dengan damai selembut salju natal

Hina sekali aku dan Mahaguru,
Tapi aku dan mereka berbeda
Jika teringat 25 Desember tahun itu,
Aku merasa dosa,
Sedang dosenku mungkin tertawa.

No comments:

Post a Comment